BERITAKITA.CO.ID, Lampung Selatan – Upaya demi upaya dilakukan oleh Pemerintah Kabupaten Lampung Selatan untuk menekan angka kasus stunting di kabupaten setempat.
Berdasarkan data yang dihimpun dari kantor Dinas Kesehatan Lampung Selatan, sampai dengan tahun 2020 ini desa lokus stunting di kabupaten berjuluk gerbang sumatera itu ada sebanyak 37 desa.
Kabid Kesehatan Masyarakat Devi Arminanto mendampingi Kepala Dinas Kesehatan Lampung Selatan dr Jimmy B Hutapean menceritakan bahwa, kabupaten setempat masuk lokus, berdasarkan hasil reset kesehatan dasar (rekesdas) Banlitbang Kemenkes pada tahun 2013. Dimana dalam angka nasional prevalensi stunting mencapai 37 persen, sedangkan untuk prevalensi kabupaten mencapai 43 persen.
Sementara itu, untuk hasil rekesdas tahun 2018 yang masih dilakukan pihak yang sama, angka prevalensi stunting turun, baik secara nasional maupun kabupaten. Yang mana, prevalensi nasional menjadi 30 persen dan Kabupaten Lampung Selatan turun diangka 29 persen.
Ia melanjutkan, berdasarkan hasil reset tersebut, pemerintah kabupaten mulai bergerak untuk menekan kasus stunting tersebut. Dimana pihak terkait mulai melaksanakan intervensi spesifik yang konteks-nya melakukan pencegahan oleh bidang kesehatan sampai intervensi sensitif dari stakeholder terkait.
“Untuk intervensi stunting di tahun 2018 Kalau mengandalkan tenaga kesehatan dalam penanggulangan stunting hanya sekitar 30 persen, sedangkan 70 persen datang dari seluruh stakeholder terkait” jelas Devi saat diwawancarai di ruang kerjanya, Selasa 6 Oktober 2020.
Berkenaan dengan hal itu, pada tahun 2019 kepala daerah mengeluarkan kebijakan untuk program swasembada gizi yang bertujuan untuk penanggulangan stunting di Lampung Selatan.
Kemudian, dilaksanakan pencanangan duta swasembada gizi yang bertujuan untuk mengkampanyekan stunting. Lalu, melakukan penandatangan komitmen secara bersama-sama untuk penurunan kasus stunting di Lampung Selatan.
Secara maraton tahapan demi tahan dalam upaya menekankan kasus stunting itu terus berlanjut. Dimana, dilakukan lagi langkah advokasi dan sosialisasi program swasembada gizi di 17 kecamatan oleh duta swasembada gizi di tingkat kecamatan yang diikuti oleh UPT, kades, kader dan masyarakat guna membentuk tim pengendalian dan monitoring tingkat kecamatan dan desa.
“Output-nya yang kita harapan, ada SK pengendali di tingkat kecamatan dan desa. Supaya ditingkat desa juga dapat memonitoring untuk membantu kabupaten,” jelasnya.
Disisi lain, pihak kecamatan dan desa pun diminta untuk membuat roadmap 2023 atau rencana tahunan untuk intervensi stunting agar lebih terarah. Sementara, kabupaten akan memberikan panduan rencana intervensi stunting.
“Saat ini draf panduan ini sedang disusun,” jelasnya.
Ia menceritakan, pada 2018 terdapat 10 desa lokus di Lampung Selatan, meliputi Desa Tamanagung, Tajimalela (Kalianda), Banjarmasin (Penengahan), Kemukus dan Bangunrejo (Ketapang), Batubalak (Rajabasa), Desa Pancasila (Natar), Waygelam dan Karyamulya Sari (Candipuro) dan Mekarsari (Waysulan).
Namun pada data 2019, jumlah desa lokus stunting bertambah sebanyak 10 desa dan di tahun 2020 bertambah lagi sebanyak 17 desa lokus, sehingga total desa lokus stunting di Lampung Selatan sebanyak 37 desa lokus.
Ia pun menjelaskan, pertimbangan penambahan berdasarkan aplikasi pencatatan pelaporan gizi berbasis masyarakat (PPGBM) terhadap pengukuran tinggi badan dan berat badan oleh tenaga kesehatan di 260 desa terhadap 77.695 bayi atau 91 persen dari total target sasaran 84.803 bayi.
“Penentuan kasus stunting berdasarkan standar perhitungan antopometri yang utamanya mengukur panjang badan bayi 48 CM dan berat lebih dari 2,5 Kg,” jelasnya.
Devi pun menyatakan, kasus stunting bisa dicegah, apabila kasus tersebut ditangani sejak dini. Caranya, dengan dilakukan perbaikan gizi terhadap bayi dan mudah-mudahan pada saat menginjak usia 2 tahun, sang bayi dapat kembali normal.
“Prilaku dari ibu bisa juga menyebabkan stunting. Makanya, kita semua mensosialisasikan 1.000 hari pertama kehidupan bayi,” katanya.
Ia pun menyebutkan, Lampung Selatan sangat berpeluang untuk bebas stunting. Pasalnya, pada tahun 2018 angka nasional prevalensi stunting tercatat 30 persen dan untuk angka kabupaten tercatat 29 persen.
“Nah, angka dari WHO itu harus di bawah 20 persen baru dinyatakan bebas stunting. Target kita secara nasional dibawah 14 persen dan Lampung Selatan dibawah 5 persen. Sedangkan, berdasarkan aplikasi PPGBM pengukuran angka pravelensi stunting Lampung Selatan 5,64 persen. Jadi sampai tahun 2023 sudah bisa dibawah 5 persen,” tandasnya. (Lex)